OPINI – Tanggal 5 Februari ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) genap 58 tahun. Umurnya hampir sama tua dengan umur negeri ini. HMI didirikan pada tahun 1947 di Yogyakarta oleh Lafran Pane, seorang Batak Tapanuli, adik dari sastrawan Indonesia terkemuka, Sanusi Pane dan Armin Pane, bersama 14 orang mahasiswa lainnya di kampus STI (Sekolah Tinggi Islam), atau UII sekarang. HMI didirikan dalam zaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung. HMI semenjak didirikannya adalah sebuah organisasi yang hendak memperjuangkan cita-cita kemajuan umat dan bangsa. Karena itu HMI selalu mengklaim dirinya sebagai kader umat, yang selalu commited pada kepentingan umat dan bangsa.
Namun belakangan, kiprah dan peranan HMI dalam memperjuangkan cita-cita kemajuan umat dan bangsa semakin tidak jelas. Hal ini bisa dilihat dari indikasi lemahnya sensitifitas dan kritisisme HMI dalam merespon masalah-masalah umat dan bangsa yang muncul. Jika pada tahun 1960-1970an HMI berada di garda depan dalam perumusan strategi dan cita-cita perjuangan umat, pada 1990an sampai sekarang HMI tidak punya peran apa-apa. Penyebabnya, selain karena kemapanan, HMI juga sekarang menderita penyakit “obesitas”. HMI, dengan hampir 150 cabang dan hampir seribu komisariat di seluruh Indonesia, terlalu gemuk sebagai sebuah organisasi perkaderan.
Karena itu, saya kira, perlu ada usaha-usaha sistematis untuk meremajakan HMI dan merampingkan organisasi yang terlalu gemuk ini. Tanpa usaha peremajaan dan “diet” HMI sangat rentan diracuni penyakit, sebagaimana terlihat gejalanya sekarang. Namun sebelum lebih jauh kita membicarakan usaha-usaha peremajaan HMI, ada baiknya kita melihat apa implikasi dari kemapanan dan gemuknya HMI sebagai sebuah organisai.
Implikasi pertama dari kedua hal di atas adalah melemahnya orientasi dan corak HMI sebagai organisasi perkaderan yang mengedepankan semangat edukasi dan intelektualisme. HMI, karena banyaknya masa kader, rentan dimanfaatkan oleh kadernya sendiri untuk kepentingan-kepentingan politik. Kondisi ini, parahnya, berjalan pararel dengan kondisi eksternal HMI, di mana banyak para alumni HMI (baca: KAHMI) yang dipercaya menduduki jabatan-jabatan politik. Proses ini sebenarnya sudah berjalan semenajak pertengahan 80-an, ketika banyak mantan aktivis HMI yang mulai masuk lingkaran kekuasaan, dan mencapai puncaknya sekarang.
Konflik yang tidak kunjung berhenti di tubuh Pengurus Besar (PB HMI) dalam tiga periode kepengurusan belakangan ini, adalah gejala yang amat jelas dari memudarnya corak HMI sebagai organisasi perkaderan. Dikatakan demikian karena hampir semua konflik itu tidak bisa dilepaskan dari peranan pihak luar, dalam hal ini KAHMI, yang mempunyai kepentingan tertentu terhadap HMI. Secara de facto hampir tak ada alasan untuk menolak bahwa HMI pasca 90-an telah beralih fungsi menjadi organisasi politik. Fenomena ini bukan hanya terjadi di tingkatan pengurus besar, tapi juga ditingkatan komisariat dan cabang. Karena itu tidak aneh kalau banyak para pengurus dan aktivis HMI yang terlibat aktif dalam menggolkan seseorang untuk menempati jabatan politik tertentu.
Para kader HMI, alih-alih disibukan oleh pross-proses training yang mencerdaskan, malah sibuk untuk menggolkan abangnya yang hendak menjadi dekan, rektor, gubernur atau presiden. Atau mereka sibuk mengurusi diri sendiri untuk menduduki posisi senat dan presiden mahasiswa.
Ini dilakukan tentu bukan tanpa konsesi dan konpensasi. Para aktivis itu berharap mendapatkan insentif, baik yang bersifat material seperti uang atau posisi tertentu. Dalam hal ini, yang memprihatinkan, HMI lantas menjadi komoditi yang “dijual” oleh kadernya sendiri untuk kepentingan pragmatis politik. Ketika sudah bersentuhan dengan politik pragmatis, idealisme dengan sendirinya luntur perlahan-lahan.
Kedua, implikasi langsung dari terlalu jauhnya HMI terlibat dalam usaha-usaha sake of power di berbagai level adalah hilangnya independensi organisasi. Independensi, menurut saya, bagi HMI adalah sesuatu yang teramat prinsipil. Inilah yang memungkinkan sebuah organisasi merdeka dalam berkreatifitas. Dan hanya dalam keadaan merdeka pula sebuah organisasi bisa hidup. Mengutip Ahmad Wahib, “…hilang independensi, maka hilang pula eksistensi himpunan ini sebagai himpunan mahasiswa” (Ahmad Wahib: 1995) Dalam independensi kita hanya dituntut commited pada idealisme kita memperjuangkan nilai-nilai Islam yang kita yakini. Ketika kita sudah commited pada satu kelompok tertentu maka lenyaplah independensi kita, dan karena itu eksistensi organisasi sudah tidak ada lagi.
Dan inilah kondisi HMI sekarang. HMI, disadari atau tidak, telah menjadi “organisasi pesuruh” dan sukar sekali melepaskan diri dari ikatan-ikatan kepentingan luar. KAHMI (Korps Alumni Himpunan Hahasiswa Islam), dalam hal ini, harus turut betanggungjawab. KAHMI yang awalnya tak lebih dari organisasi paguyuban untuk memuaskan rasa kangen pada aktifitas masa lalu di HMI, telah di politisir dan telah pula berubah menjadi kekuatan politik. Organisasi ini oleh orang-orang tertentu dijadikan kuda tunggangan untuk mencapai kepentingan politik tertetu. Kalau Nurcholish Madjid c.s sekitar tahun 1970-an berjibaku melepaskan diri dari keterikatan dengan Masyumi, para aktivis HMI sekarang juga dituntut untuk sepenuhnya bisa melepaskan diri dari para KAHMI untuk menjaga independensi organisasi.
Yang memprihatinkan, ketergantungan dan keterbelengguan ini juga terjadi pada tataran intelektual. Iniah implikasi ketiga dari kemapanan: kemandegan intelektual. Posisi pemikiran Nurcholish Madjid di HMI sedemikian hegemonik, sehingga nyaris semua kader HMI tidak bisa mengembangkan kreatifitas intelektual. Para kader HMI sepertinya nyaman berada di bawah ketiak Nurcholish Madjid. Materi Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang dalam perkaderan di HMI merupakan materi pokok, yang disusun oleh Nurcholish Madjid sekitar tahun 1970-an, sampai sekarang belum juga mengalami perubahan. Bahkan belakangn muncul gejala mistifikasi NDP tersebut. Inilah yang menyebabkan kemandegan intelektual di HMI. Karena itu, HMI sebagai organisasi yang mengususung pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, kini sudah tidak bisa diharapkan lagi. Organisasi perkaderan sejenis, seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) dan IMM (Ikatan Masasiswa Muhammadiyah), dalam hal ini mungkin telah berjalan lebih maju dibandingkan HMI dalam dunia intelektual
Menemukan Solusi
Lantas apa yang hendak dilakukan oleh para kader HMI sekarang dalam menyikapi fenomena semakin bobroknya HMI. Berhadapan dengan hal ini seperti hendak mengurai benang kusut: kita tidak tahu dari mana memulai membereskannya. Namun begitu, kita masih menyimpan sedikit harapan. Harapan itu terletak dalam semangat dan kesadaran kritik-diri yang masih bisa kita temukan pada sebagain aktivis HMI. Kritik diri inilah yang akan senantiasa menjadikan HMI bisa mengkoreksi kekeliruan yang telah di torehkannya dalam catatan sejarah.
Saya mencoba mengajukan tiga langkah awal perbaikan organisasi yang mogok ini. Pertama, karena sedianya HMI adalah organisasi kader yang mengedepankan semangat edukasi dan intelektualisme, maka perbaikan HMI sedianya pula dimuali dari masalah perkaderan. Perkaderan harus mengacu sepenuhnya pada pemenuhan kualitas bukan pada kuantitas kader. Kalau kualitas yang kita kejar, perkaderan-perkaderan tidak perlu terlalu massif. Fenomena yang kita saksikan sekarang, di mana setiap forum tarining LK I sebagai persyaratan menjadi anggota penuh HMI diikuti oleh puluhan bahkan samapai ratusan orang, harus dirubah. Training yang ada sekarang lebih berorientasi politik, karena menekankan jumlah masa. Lebih baik melakukan training dengan jumlah lebih sedikit tapi menghasilkan kader-kader yang kritis, cerdas, mengedepankan rasionalitas dan militan.
Namun sebagai konsekuansinya, untuk jangka pendek, kita harus puasa dari targetan-targetan politik tertentu. Posisi-posisi dekan, rektor, presiden mahasiswa dan lain-lain yang diperebutkan melelui mekanisme politik tidak perlu diurusi dulu. Toh dalam jangka panjang, ketika proses di HMI telah normal sebagai organisasi perkaderan yang memperjuangkan cita-cita umat dan bangsa, jabatan-jabatan politik itu dengan sedirinya akan didapatkan. Jabatan-jabatan itu, sebagaimana dialamai HMI tahun 80-an, adalah sebuah anugrah dan kepercayaan umat karena kita mempunyai kemampuan dan profesionalitas, bukan karena diburu dan dikejar-kejar dengan tanpa keahlian apapun selain keahlian melobi.
Kedua, ketika proses formal perkaderan telah diperketat dengan berorientasi pada pengemabangan intelektualisme kader, budaya intelektual yang kental di HMI tahun 1960-1970-an perlahan-lahan bisa digapai kembali. Bahkan pasti kita akan lebih maju jika dibandingkan dengan masa itu. Intelektualisme inilah yang akan membawa HMI menjadi organisasi yang kritis, peka dan terbuka terhadap perkembangan-perkembangan baru yang muncul. Dan hanya dengan itu sebuah organisasi akan semakin maju.
Kader-kader HMI sekarang telah mewarisi lebih banyak tradisi intelektual di Indonesia, dan karena itu sebenarnya kita telah punya modal yang lebih besar untuk mengembangkan pemikiran kita. Di samping itu, akses informasi dan buku-buku sekarang pasti lebih baik ketimbang zaman Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Johan Efendi atau Nurcholish Madjid dulu. Karena itu hampir tak ada alasan bagi kita untuk tidak menjadi pemabaharu.
HMI sekarang dituntut untuk bukan hanya melakukan pembaharuan dan reinterpretasi Islam, tetapi lebih dari itu kita dituntut mentransformasikannya dalam kehidupan umat. Dan itu sangat mungkin dilakukan dengan jaringan HMI yang sudah tersebar dari Sabang samapi Merauke, di setiap kota kabupaten. HMI sebenarnya sangat potensial menjelmakan dirinya menjadi organisasi, meminjam istilah Gramsci, “intektual organik” Organisasi intektual organik ini nantinya diharapkan bisa mentransformasikan cita-cita dan idealismenya dalam kehidupan nyata.
Ketiga, HMI dituntut untuk merumuskan ulang nilai-nilai perjuangan yang dijadikan pegangannya selama ini. Kongkretnya, HMI harus punya kemauan untuk mengganti NDP (Nilai Dasar Perjuangan) yang disusun Nurcholish Madjid 30 tahun lalu, dengan sebuah rumusan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman kita hidup. Dan akan lebih baik kalau kita melangkah lebih maju dengan merumuskan pula kebutuhan mendasar (basic demad) umat Islam dan bangsa Indonesia secara menyeluruh. Para aktivis HMI tahun 1970-an, sebagaimana bisa kita baca dalam catatan harian Ahmad Wahib, yang dimotori Nurcholish Madjid, Dawam Raharjo, Johan Efendi, Ahmad Wahib, Djoko Prasojo dan lain-lain sedianya membuat tiga rumusan mendasar yang akan dijadikan pegangan organisasi. Ketiga hal itu adalah: rumusan nilai-nilai fundamental Islam (fundamental values of Islam), rumusan tentang kebutuhan mendasar (basic demand) masyarakat Indonesia dan yang ketiga rumusan oprasional program umat Islam Indonesia. Rumusan pertama dibebankan pada Nurcholish Madjid, yang kedua pada Djoko Prasojo–ayah Imam Prasojo–dan yang ketiga pada Sularso, mantan ketua HMI Badko Jawa Tengah. Tiga rumusan tersebut diilhami oleh sebuah buku pegangan partai Sosial Demokrat Jerman, Basic Demad and Fundamental Values of Socialist Democratic Party, yang dibawa Sularso sepulang dari kunjungannya ke Jerman Barat waktu itu.
Dalam catatan sejarah, kita kemudian hanya menemukan NDP yang merupakan usaha Nurcholish untuk merumusan nilai-nilai fundamental Islam yang akan dijadikan pegangan organisasi. Sementara dua rumusan lain sampai sekarang masih jadi pekerjaan rumah buat para kader HMI berikutnya. Namun sayang hal ini tidak banyak diketahui para kader HMI.
Dan saya kira inilah saatnya para kader HMI melakukan perumusan ulang nilai-nilai fundamental yang akan dijadikan pegangan oleh organisasi, sembari memulai dua rumusan yang belum diselesaikan oleh para pendahulu kita. Tanpa melangkah ke arah itu, HMI hanya akan tetap diam dan tak berarti apa-apa bagi umat dan bangsa. HMI jangan sampai masuk ke musium sejarah.
Momentum dies natalis yang ke-58 ini mungkin bisa kita jadikan titik tolak bagi perubahan mendasar organisasi. Terlebih juga beberapa bulan ke depan HMI akan menggelar kongres yang ke 25. Kita berharap kongres nanti tidak hanya akan mengakhiri konflik yang berkepanjangan, tapi juga menjadi momentum baru kebangkitan kembali organisasi yang sedang sakit ini.
Oleh: Zezen Zaenal Mutaqin* pengurus LPL (Lembaga Pengelola Latihan) PB HMI dan aktivis FORMACI
dengan Tulisan Asli (Rejuvenating Muslim Students Association in Indonesia) Newspaper (REPUBLIKA), 2005 Halaman 36