Indonesia, Negara Warisan Peradaban Orang Berfikir

MHR. Shikka Songge -Cendekiawan
MHR. Shikka Songge -Cendekiawan

OPINI – Presiden Jokowi juga manusia biasa yg mempunya sifat relatifism, sebagaimana relatifism manusia pada umumnya. Joko Widodo bukan saja milik keluarga, juga bukan milik sekelompok orang, tapi milik segenap bangsa Indonesia. Terlepas dari segala kekurangannya Joko Widodo adalah Presiden RI.

Sebagai warga negara KITA harus mempunyai kejujuran, pada diri kita dan pada negara, bhw kita sering mendengar pernyataan dan menyaksikan sikap kebijakan Pak Jokowi melalui sorotan media. Banyak hal terasa pahit, tidak mengenakan, memalukan, menyakitkan juga merugikan kita sebagai anak bangsa.

Bacaan Lainnya

Indonesia merupakan negara bangsa, memiliki ragam suku bangsa, agama, maupun budaya. Namun keragaman tidak menjadi nilai nilai yg menumbuhkan benih perekat kebangsaan. Keragaman itu menjadi nihil, dan kehilangan makna. Nampak sekali betapa keragaman itu diciptakan saling berhadapan, dibenturkan dan saling memusuhi. Padahal jauh sebelumnya para pendiri negara bangsa telah merancang keberagaman itu menjadi ikatan emas penguat negara kesatuan.

Bangsa ini memiliki sumber daya alam yg berlimpah ruah, tapi gagal mensejahterakan rakyat. Negara kaya tetapi rakyat miskin yg terhimpit oleh berbagai dilema docial. Hal itu tentu disebabkan oleh kebodohan, salah urus atau boleh jadi karena tidak tahu urus. Persoalan yg demikian ini merupakan potret buram wajah bangsa yg memalukan di hadapan negara negara yg miskin dan ketidakberdayaan di hadapan negara adidaya.

Pandangan dan pernyataan Presiden Joko Widodo di ruang public sering kali tanpa karakter, kehilangan konsistensi, ambigue, tendensius paradoks, tidak memiliki bobot educasi, membingungkan, mengacaukan logika kolectif.

Semestinya Presiden dan aparat penyelanggara negara menyadari bhw NEGERI INI didirikan oleh Para Pejuang, Pemikir, Kaum Intelectual Ideologis. Mereka orang sekolahan yang terdidik, terpelajar, beragama dan memiliki komitment yg kuat pada visi besar bernegara. Mereka yang merumuskan bangunan ideologi, konstitusi negara melalui perdebatan teoritic yg amat bermartabat. Para manusia intelectual pejuang itu mencurahkan kecerdasan dan kebahagiaan untuk tegaknya Indonesia berdsulah. Olehnya pantas diakui bhw TANAH AIR l INDONESIA, merupakan Negeri Warisan peradaban para pemikir dan intelectual masyhur dimiliki negeri ini, yang harus dirawat dg peradaban akal sehat.

Namun sangat disayangkan, kondisi negeri dewasa diurus oleh mereka yg datang dg perut bukan dg fikiran genius dan idealisme serta patriotisme sebagai negarawan. Negeri ini bukan diurus dg logika, logos, dan etika yg berorientasi untuk pelayanan yg mensejahterakan dan mensetarakan martabat sosial anak bangsa. Melainkan diurus dg tanpa ekspektase kemanusiaan dan keadilan sosial untuk segenap bangsa. Membangun dg model investasi asing, tetapi investasi itu justeru memasung dan memiskinkan rakyat sendiri.

Tidak disadari ternyata penguasa saat ini sedang kesurupan membangun infrastructur di berbagai tempat, namun semua itu tidak lebih dari sekedar proses dehumanisasi. Membangun dg investasi modal asing, yang pada intinya membebani rakyat dan sekaligus mengabaikan kemanusiaan.

Pembangunan yang mengaibaikan dimensi kreatif dan inovasi manusia,

selain menghegemoni kemerdekaan dan kecerdasan manusia, juga merampok hak hak konstitusional milik rakyat yang dilindungi oleh UU. Nah Ketika rakyat bereaksi menuntut pemulihan haknya, rakyat justru dituduh sebagai perusuh dan diframing sebagai anti nkri, anti pancasila dan seterusnya. Begitu pula ketika kaum intelectual melakukan pembelaan atas ketidak adilan yg menimpa rakyat, kaum intelectual justru ditersangkakan dg tuduhan makar atau melawan negara. Padahal apa yg dilakukan oleh para intelectual tidak lebih selain  mengeksperikan tugas moral sebagai resi, bertanggung jawab pada penindasan atau ketidak adilan yg menimpa masyarakat. Inilah wajah bopeng negeri Pancasila.

Beberapa Waktu lalu Sri Datok Anwar Ibrahim, Perdana Mentri Malaysia dlm Pidato Peradaban mengingatkan Para Pemimpin dan Rakyat Indonesia. Bahwa Indonesia perna punya sejumlah tokoh negarawan dan peradaban yg hebat. Ia menyebut Soekarno Nasionalist, Sahrir yg sosialist juga Agus Salim dan Natsir yg islamis. Artinya, Anwar menyindir para hadirin tokoh Indonesia yg memadati ruang pidato peradaban, bhw keempat tokoh itu adalah tokoh tokoh besar yg mempunyai visi tentang Indonesia, peletak dasar bangunan ke – Indonesia an kita. Keempatnya amat berpengaruh terhadap arah perjalanan Peradaban Politik di tanah air. Bhw Bangunan Indonesia ini menjadi negara yg kuat bila sanggup mengurai secara integratif nasionalism sosialism dlm spirit islam untuk Indonesia. Sejauh itu tidak menjadi fikiran para penyelanggara negara saat ini.

Datok Sri Anwar Ibrahim juga menyinggung bhw Indonesia memiliki sejumlah budayawan agung yg pernah terlibat dalam poliemik kebudayaan. Dia menyebut ada Sanusi Pane, ada Mochtar Lubis, St Taqdir Ali Sahbana, ada Buya Hamka penulis buku populer Tasawuf Modern dan Falsafah hidup. Juaga ada Sudjatmoko seorang ilmuan, pemikir kemanusiaan taraf Internasional. Sudjatmoko menorehkan karya masyhur antara lain: Etika Pembangunan dan Dimensi Manusia Dalam Pembangunan.

Dari sekian keunggulan fundamental yg dimiliki negeri ini, semestinya bisa menjadi keunggulan comparatif yg memandu kerangka pembangunan kita di tanah air. Dengan begitu pembangunan di Indonesia tetap memiliki dimensi kemanusiaan.

Dimanakah aspek pembangunan Joko Widodo yg berwajah kemanusisaan ?. Ketika pembangunan dg modal investasi yg melahirkan huru hara di tanah air. Ambillah contoh kasus yg terdekat, kerusuhan di Morowali Utara, yg melulantahkan pabrik nickel menjadi lautan api. Perihal ini dipicu oleh ketidakadilan upah antara TKA dan TKI. Upah TKA Rp 30 jt, sedangkan TKI hanya Rp Jt, belum lagi dipotong kalau tidak masuk kerja. Sementara beban kerja yg tidak berimbang antara TKA dan TKI. Kebanyakan TKA yg unskill, hak yg unskill secara teknis bisa dikerjakan TKI. Dalam hal ini posisi tawar TKI sangatlah lemah. Pengusiran TKA oleh warga Dayak di Kalimantan. Semua ini merupakan gambaran tentang potret buram pembangunan yg tidak mempertimbangkan pentinya nilai nilai kemanusiaan.

Pos terkait