KABARTIGA.ID – Bayangan kelam kabut asap kini kembali menghantui langit Sumatera. Belum lekang dari ingatan kita bagaimana jerebu kabut asap lintas batas pernah menyelimuti udara Indonesia dan negara tetangga, menyesakkan paru-paru, melumpuhkan aktivitas, dan menodai reputasi bangsa. Kini, di pertengahan 2025, bara itu menyala lagi. Apakah kita sedang menyambut Jerebu Jilid Tiga?
Kebakaran Luas, Reaksi Terlambat
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sepanjang semester I 2025, karhutla di Indonesia telah membakar 8.594,5 hektare, di mana lebih dari 80 persen adalah lahan gambut. Ekosistem yang sangat rawan terbakar dan sulit dipadamkan. Di Sumatera, Riau menjadi titik panas utama dengan 751 hektare lahan terbakar, disusul Jambi dan Sumatera Selatan.
Jumlah titik panas (hotspot) juga meningkat drastis. Riau mencatat 180 titik, dengan konsentrasi tinggi di Kabupaten Rokan Hilir. Titik api juga muncul di Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat. Ini bukan hanya fenomena tahunan, tetapi sebuah pola bencana yang semakin berulang dan tak pernah benar-benar ditanggulangi.
Meski demikian, respons masih cenderung reaktif. Langkah mitigasi seperti patroli udara, sekat kanal, atau pemadaman lahan kerap datang terlambat. Setelah langit dipenuhi asap dan masyarakat mulai sesak napas.
Asap Menyebar, Dampak Meluas
Kita tidak sedang membicarakan kabut lokal. Asap tidak mengenal batas wilayah. Pada pertengahan Juli 2025, kabut dari Sumatera telah terdeteksi hingga ke Malaysia bagian barat seperti Negeri Sembilan. Di Pekanbaru, jarak pandang menurun hingga hanya 1 kilometer, dan rumah sakit mulai menerima pasien dengan gejala ISPA.
Fenomena transboundary haze ini bukan baru. Kita pernah mengalami krisis yang sama pada 2015 dan 2019. Sayangnya, setiap kali asap menyebar, yang terjadi hanyalah reaksi politis jangka pendek. Tanpa ada upaya struktural jangka panjang untuk benar-benar memutus siklusnya.
Ini Kejahatan, Bukan Bencana Alam
Kebakaran hutan bukanlah musibah alami, melainkan kejahatan lingkungan yang disengaja. BNPB secara tegas menyebut faktor manusia sebagai penyebab utama, mulai dari pembukaan lahan ilegal, kelalaian, hingga praktik pembakaran yang masih dianggap ‘efektif dan murah’ oleh sebagian pelaku usaha.
Tahun ini saja, 44 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus karhutla di Riau. Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama: mengapa korporasi besar pemegang konsesi masih terus luput dari jerat hukum? Mengapa penegakan hukum selalu berhenti di level bawah?
Penegakan hukum terhadap pembakar hutan harus tegas, tanpa pandang bulu. Publik perlu tahu siapa saja pemilik lahan yang terbakar. Jika tidak, penegakan hukum hanya akan menjadi simbol tanpa substansi.
Waktunya Bertindak, Bukan Mengeluh
Kita terlalu sering menyalahkan cuaca. Padahal, akar masalahnya adalah lemahnya tata kelola lingkungan. Restorasi gambut berjalan lambat, pengawasan longgar, dan celah hukum masih dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Bahkan, masih ada pihak yang menganggap kabut asap sebagai “musim tahunan yang wajar”.
Jika kita ingin lepas dari jerat jerebu, maka langkahnya harus konkret: pembatasan izin di lahan gambut, pemantauan berbasis satelit secara real time, sanksi tegas untuk korporasi pelanggar, dan pelibatan masyarakat adat dalam perlindungan kawasan.
Krisis iklim bukan cerita masa depan. Ia terjadi sekarang. Dan Sumatera adalah wajah nyata dari kerusakan yang terus kita abaikan.
Langit Tak Seharusnya Abu-Abu
Jika tidak ada perubahan serius dalam waktu dekat, maka Jerebu Jilid Tiga bukan hanya kemungkinan, tetapi realitas yang akan kita hirup. Indonesia tidak boleh terus-menerus dicatat dunia sebagai penyumbang asap regional.
Kita tidak bisa berharap pada hujan untuk memadamkan api yang kita nyalakan sendiri. Yang kita butuhkan adalah keberanian mengambil keputusan, kemauan untuk memperbaiki sistem, dan komitmen nyata menjaga hutan sebagai paru-paru negeri.
Langit Sumatera tidak seharusnya abu-abu. Ia bisa biru kembali, jika kita memilih untuk berubah hari ini, bukan nanti ataupun besok.
