Ekonomi Tanjungpinang Melemah: Saatnya Menata Ulang Arah Pembangunan

KABARTIGA.ID, Tanjungpinang — Hingga Mei 2025, denyut ekonomi Tanjungpinang terasa kian melemah. Aktivitas perdagangan lesu, UMKM kehilangan daya tahan, dan daya beli masyarakat tergerus inflasi bahan pokok. Fenomena ruko-ruko kosong di pusat kota kini menjadi pemandangan yang makin lumrah. Tak sedikit warga bertanya-tanya: siapa yang salah, dan ke mana arah kota ini hendak dibawa?

Namun menyalahkan satu pihak bukanlah solusi. Yang lebih penting adalah mengurai persoalan secara jernih dan merumuskan langkah nyata. Inilah saatnya Tanjungpinang menata ulang arah pembangunannya.

Bacaan Lainnya

Ketergantungan Anggaran dan Masalah Struktural

Salah satu problem utama ekonomi Tanjungpinang adalah ketergantungan tinggi terhadap APBD. Belanja pegawai, proyek pemerintah, dan kegiatan birokrasi menjadi sumbu utama perputaran uang. Ketika penyaluran anggaran melambat, roda ekonomi langsung tersendat. Ini bukan model pembangunan yang tangguh terhadap guncangan.

Struktur ekonomi semacam ini menciptakan risiko sistemik. Alih-alih mengembangkan sektor produktif seperti pariwisata, industri kreatif, dan kelautan, kota ini justru terjebak dalam pola konsumsi fiskal yang stagnan. Dalam jangka panjang, model ini menyulitkan Tanjungpinang untuk tumbuh secara mandiri dan berkelanjutan.

Kondisi ini diperparah oleh birokrasi yang belum sepenuhnya adaptif terhadap tuntutan zaman. Proses perizinan yang panjang, minimnya insentif investasi, serta ketiadaan dukungan konkret terhadap pelaku usaha, menjadikan iklim ekonomi kota ini kurang menarik. Akibatnya, banyak ruko kosong, investor ragu masuk, dan pelaku usaha lokal bertahan dalam tekanan.

Mengangkat UMKM dan Mendorong Kreativitas Lokal

Padahal, Tanjungpinang memiliki ribuan UMKM dan pelaku industri kreatif yang potensial. Sayangnya, potensi ini belum tergarap maksimal. Banyak pelaku usaha kecil terjebak dalam skala subsisten karena keterbatasan akses permodalan, minim pelatihan digital, dan belum terhubung ke pasar yang lebih luas.

Pemerintah daerah kerap menyelenggarakan pelatihan formalitas, lebih fokus pada dokumentasi daripada dampak nyata. Yang dibutuhkan adalah program pemberdayaan berbasis pasar, pelatihan praktis yang berkelanjutan, digitalisasi UMKM, serta kemitraan strategis dengan platform e-commerce dan sektor swasta.

Sektor kreatif juga layak dijadikan andalan. Produk berbasis budaya lokal. Seperti kuliner, kerajinan tangan, hingga konten digital. Bisa menjadi motor pertumbuhan baru. Pemerintah hanya perlu memberi ruang, bukan sekadar mengatur. Kreativitas masyarakat akan tumbuh jika difasilitasi, bukan dibatasi.

Inflasi Pangan dan Kemandirian Ekonomi

Persoalan lain yang sangat terasa adalah melonjaknya harga bahan pokok. Menjelang Ramadan dan Idulfitri 2025, harga cabai, beras, telur, dan daging naik drastis. Kondisi ini diperburuk oleh distribusi yang tidak efisien serta lemahnya pengendalian dari sisi hulu ke hilir.

Daya beli masyarakat pun tergerus. Bagi masyarakat kelas bawah, yang pendapatannya tak menentu, kondisi ini amat membebani. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan operasi pasar temporer. Diperlukan kebijakan ketahanan pangan berbasis lokal yang berkelanjutan.

Langkah konkret bisa dimulai dari penguatan koperasi nelayan dan petani, membentuk pasar induk, serta memangkas rantai distribusi yang terlalu panjang. Tanjungpinang harus berani membangun fondasi kemandirian ekonominya dari sektor paling mendasar: pangan.

Dari Krisis Menuju Kesempatan

Ekonomi Tanjungpinang memang sedang lesu. Tapi bukan berarti tanpa harapan. Kota ini punya modal besar: posisi strategis, warisan budaya, dan masyarakat yang kreatif. Yang dibutuhkan sekarang bukan mencari kambing hitam, melainkan arah baru yang lebih inklusif dan berani.

Pemulihan ekonomi bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi juga panggilan kolaborasi antara masyarakat, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya. Dalam pembangunan, yang dibutuhkan bukan alasan, tapi kepemimpinan dan gerakan bersama.

Pos terkait