KABARTIGA.ID – Indonesia, negeri berjuluk zamrud khatulistiwa, membentang dari ujung barat Aceh hingga ke timur Papua. Di bawah hamparan tanahnya tersimpan emas, nikel, batu bara, dan minyak. Di langitnya, membumbung harapan. Di lautan dan hutannya, berlimpah kekayaan hayati yang tak ternilai. Tapi ironisnya, di balik segala limpahan itu, Indonesia seolah menjadi tuan rumah yang tak punya kendali penuh atas rumahnya sendiri.
Hari ini, kita hidup dalam era modern penjajahan gaya baru. Ekonomi dikendalikan lewat investasi, sumber daya diangkut ke luar negeri, dan suara-suara rakyat kecil nyaris tak terdengar. Kita seolah tak sadar sedang “dijajah secara sukarela”.
Negeri Kaya, Tapi Terkunci di Luar Pintu Kekayaannya
Pemerintah sering membanggakan tingginya realisasi investasi asing. Tentu, pertumbuhan ekonomi butuh modal. Tapi ketika tambang di Morowali dikuasai asing, ketika hutan Papua dibabat atas nama pembangunan, dan ketika laut Raja Ampat diancam penambangan nikel, muncul satu pertanyaan mendasar: Siapa sebenarnya yang menikmati kekayaan Indonesia?
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa sepanjang triwulan I 2025, Penanaman Modal Asing (PMA) masih menyumbang hampir 49,5% dari total investasi. Sementara, banyak pelaku UMKM masih kesulitan akses modal dan teknologi.
Lebih menyedihkan lagi, sejumlah perusahaan asing yang mengeruk hasil bumi diberi kemudahan pajak, insentif fiskal, dan jaminan hukum yang luar biasa. Sementara rakyat sekitar tambang hidup dalam debu, air tercemar, dan janji CSR yang sering hanya menjadi papan nama di pintu masuk lokasi proyek.
Papua Surga Terakhir yang Dirusak
Baru-baru ini, Presiden mencabut izin empat perusahaan tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Greenpeace menyebut bahwa lebih dari 500 hektar hutan tropis telah rusak akibat eksplorasi tambang nikel. Ironisnya, ini terjadi di salah satu ekosistem laut dan darat terkaya di dunia.
Sementara Jakarta bicara transisi energi dan pembangunan hijau, Papua dihujani ekskavator. Para investor datang membawa bendera “ramah lingkungan”, tapi lupa membawa komitmen terhadap rakyat adat yang tinggal di sana.
Bayangkan seorang ibu punya rumah mewah: ada taman, kolam, dan ruang emas di bawah tanah. Lalu datanglah tamu asing menawarkan uang sewa. Sang ibu senang dan menyerahkan kunci. Sang tamu lantas menyuruh keluarga ibu untuk tidur di garasi, karena ruang utama akan dipakai rapat bisnis.
Maka, jadilah rumah itu megah di laporan koran, tetapi menyakitkan bagi pemiliknya. Sang ibu, yang sebenarnya pemilik sah, hanya bisa menonton dari jendela sambil berdoa agar “rezeki dari tamu” cukup untuk membayar sekolah anaknya.
Bukankah itu yang sedang terjadi di negerimu, wahai Indonesia?
Hentikan Penjajahan Gaya Baru
Penjajahan hari ini tidak lagi datang dengan senjata, tapi lewat kontrak kerja sama, pasal tersembunyi, dan ketergantungan ekonomi. Kita bangga saat nama Indonesia disebut di forum investasi global, tapi lupa kalau sebagian besar keuntungan mengalir ke luar negeri.
Sudah saatnya bangsa ini bangkit. Caranya bukan dengan menolak investasi, tapi menguasai penuh cara investasi bekerja. Kembangkan potensi nasional, kuatkan UMKM, berdayakan pemuda desa, dan pastikan bahwa setiap jengkal tanah negeri ini digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dari ujung Aceh hingga ujung Papua, rakyat Indonesia punya hak untuk menikmati tanah airnya sendiri. Negeri ini terlalu kaya untuk dibiarkan miskin. Terlalu luas untuk dikuasai segelintir konglomerat.
Dan terlalu berharga untuk hanya jadi catatan kaki dalam laporan tahunan perusahaan multinasional.
Kalau kita tidak bangkit sekarang, maka kelak anak cucu kita hanya bisa mengenang kekayaan negeri ini dari buku sejarah. Buku yang mungkin ditulis dalam bahasa asing.
#BangkitkanKedaulatanEkonomi
#TanahAirUntukRakyat
#DariAcehHinggaPapua