KABARTIGA.ID – Pada tanggal 19 Juni 2025, dunia tidak hanya bergerak. Ia bergemuruh. Dentuman rudal, debat diplomatik, dan deru es yang mencair menjadi tiga babak utama dari panggung global yang sedang retak. Di tengah kesibukan kita menjalani hari, dunia sedang berteriak. Sayangnya, tidak semua orang mendengar.
Rudal di Timur Tengah dan Senyapnya Kemanusiaan
Konflik antara Israel dan Iran kembali membara. Fasilitas nuklir Iran dihantam oleh serangan udara, dan Iran membalas dengan rudal serta drone ke wilayah Israel. Salah satu rudalnya menghantam rumah sakit di Beersheba. Korban sipil berjatuhan. Nyawa yang semestinya dilindungi, malah menjadi korban permainan kekuasaan.
Lebih dari sekadar konflik militer, ini adalah tragedi kemanusiaan. Ketika rumah sakit berubah menjadi puing, kita tahu bahwa peradaban sedang mundur. Presiden Donald Trump menyatakan akan memutuskan dalam dua minggu apakah AS akan terlibat penuh dalam konflik ini. Dunia menahan napas. Namun pertanyaannya bukan hanya “apa yang akan Amerika lakukan?”, melainkan “ke mana nurani dunia mengarah?”.
Konflik ini menunjukkan bahwa pertarungan kekuatan selalu lebih cepat menyala dibandingkan pertumbuhan akal sehat dan kesabaran diplomasi. Ironisnya, kita hidup di zaman ketika teknologi perdamaian ada, tetapi semangat perdamaian absen.
NATO: Pertahanan atau Ketakutan?
Di belahan dunia lain, NATO bersiap menggelar KTT di Den Haag. Penjagaan superketat diberlakukan. Lebih dari 27.000 polisi dan 10.000 tentara dikerahkan untuk menjaga para pemimpin dunia yang akan berbicara tentang keamanan dan masa depan aliansi.
Namun, perdebatan seputar target belanja pertahanan 5% dari PDB justru menunjukkan jurang antara ambisi dan realita. Spanyol menolak dengan tegas, menyebut target itu tidak masuk akal di tengah tekanan ekonomi domestik. Sikap ini penting. Sebab pertahanan yang ideal bukanlah yang membengkak anggarannya, tetapi yang mampu melindungi tanpa melupakan siapa yang dilindungi.
Ketika negara lebih sibuk membeli senjata ketimbang memastikan warganya makan dan mendapat akses kesehatan, maka yang kita pertahankan bukan lagi martabat, melainkan ilusi kekuasaan.
Suara yang Tak Pernah Didengar: Gletser yang Mencair
Di tengah semua ini, ada tragedi yang lebih sunyi namun jauh lebih mendasar: mencairnya gletser-gletser dunia. Tahun 2025 ditetapkan sebagai Tahun Internasional Pelestarian Gletser. Tapi siapa yang benar-benar peduli?
Dunia terus berlari, dan suara gletser yang luruh tertelan oleh bisingnya debat politik dan konflik bersenjata. Padahal, dari gletser-gletser itu mengalir kehidupan bagi jutaan manusia. Jika kita terus menunda kepedulian, maka perubahan iklim akan menjadi perang yang tidak bisa kita menangkan dengan peluru ataupun diplomasi.
Dunia hari ini tidak kekurangan Ilmu, tapi kesadaran. Apa yang sedang terjadi bukan karena dunia kekurangan teknologi, bukan karena kita kurang pintar atau cerdas secara strategi. Yang hilang adalah kesadaran. Bahwa di balik setiap kebijakan, ada wajah manusia. Di balik setiap rudal, ada tangis anak-anak. Di balik setiap es yang mencair, ada masa depan yang perlahan menguap.
Sudah saatnya dunia meletakkan kembali kompas moralnya. Bahwa pertahanan sejati bukan sekadar militer, melainkan kemampuan menjaga kehidupan. Bahwa diplomasi bukan sekadar pertemuan, melainkan kesanggupan untuk mendengar yang lemah. Dan bahwa pembangunan bukan hanya angka dalam laporan, melainkan kualitas nafas yang masih bisa kita hirup esok hari.
Menggenggam Harapan di Tengah Kegaduhan
Sebagai penulis, sebagai warga dunia, dan sebagai manusia, saya tak ingin hanya mencatat sejarah kejatuhan. Saya ingin menjadi bagian dari suara yang menyuarakan bahwa kita masih bisa memilih. Memilih untuk peduli, memilih untuk tidak membiarkan perang menjadi rutinitas, dan memilih untuk menyelamatkan bumi sebelum ia benar-benar lelah.
Karena ketika dunia bergemuruh, yang paling dibutuhkan bukan senjata, melainkan keberanian untuk menjadi manusia.