KABARTIGA.ID, Tanjungpinang – Seratus hari pertama Lis Darmansyah dan Raja Ariza dalam memimpin Tanjungpinang telah berlalu. Dengan jargon “Tanjungpinang Berbenah” dan visi “Bima Sakti” yang mengusung tujuh nilai utama: Berbudaya, Indah, Melayani, Aman, Sejahtera, Agamis, Kreatif, Teknologi, dan Integritas—mereka tampil dengan narasi pembangunan yang ambisius. Namun, apakah semua itu cukup sebagai jawaban atas realitas sosial-ekonomi warga kota yang semakin kompleks?
Program Gratis: Kemasan Menarik, Mekanisme Lemah?
Salah satu program unggulan mereka. Pendidikan dan kesehatan gratis 100%, memang terlihat menjanjikan. Siapa yang tidak ingin pendidikan dan layanan kesehatan tanpa beban biaya? Namun, kritisnya, publik belum disuguhkan data transparan terkait jumlah penerima manfaat, efektivitas distribusi perlengkapan sekolah, hingga kualitas layanan kesehatan yang diberikan. Apakah program ini benar-benar menyentuh golongan yang paling membutuhkan, atau hanya menjadi etalase populis?
Padahal, dalam konteks defisit anggaran yang terus membayangi, program seperti ini rentan menjadi beban jika tidak dibarengi dengan reformasi fiskal dan efisiensi belanja publik. Apakah ini keberanian politik, atau sekadar pencitraan jangka pendek?
Reformasi Birokrasi, Evaluasi atau Rotasi Politik?
Lis-Raja juga menggembar-gemborkan reformasi birokrasi dan efisiensi OPD. Tapi publik layak bertanya: sejauh mana reformasi ini menyentuh akar persoalan birokrasi, seperti mentalitas layanan, transparansi anggaran, dan meritokrasi dalam pengangkatan pejabat?
Seruan untuk menyederhanakan layanan publik terdengar ideal, tetapi hasil nyatanya belum terlihat. Alih-alih reformasi menyeluruh, justru muncul sinyal bahwa beberapa posisi strategis mulai diisi oleh nama-nama “dekat kekuasaan”. Apakah ini bentuk konsolidasi politik belaka?
Infrastruktur dan UMKM: Dana Ada, Tapi Apa Dampaknya?
Pemerintah mengklaim telah menggelontorkan dana miliaran untuk infrastruktur dan pemberdayaan UMKM. Tetapi, apakah kebijakan ini berdasarkan peta kebutuhan masyarakat? Sudahkah pelaku usaha mikro dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengawasan?
Pembangunan tanpa partisipasi akar rumput hanya akan menghasilkan proyek yang kehilangan makna sosial. Jalan yang diperbaiki, tapi pasar tradisional masih kumuh. Pelatihan digelar, tapi alat produksi tak pernah sampai ke tangan pelaku usaha. Kebijakan tanpa keberpihakan sejati hanyalah rutinitas teknokratik tanpa dampak sosial yang mendalam.
Visi “Bima Sakti”: Bagus di Kertas, Belum Tergambar di Lapangan
Visi “Bima Sakti” memang indah secara konseptual. Tapi masyarakat tidak butuh jargon, melainkan kehadiran nyata negara dalam hidup mereka. Di mana wajah budaya yang ingin diangkat? Di mana bukti nyata bahwa teknologi dimanfaatkan untuk memudahkan hidup warga?
Selama 100 hari ini, belum terlihat langkah konkret yang menjadikan Tanjungpinang lebih kreatif atau lebih berintegritas. Sementara itu, tantangan seperti pengangguran muda, tata ruang kota yang semrawut, hingga krisis air bersih masih bergentayangan tanpa solusi yang konkret.
Panggung Telah Dibuka, Saatnya Bekerja Nyata
Sebagai Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Tanjungpinang (IMTA) di Pekanbaru periode 2021–2022, saya memandang bahwa masa 100 hari pertama seharusnya menjadi tonggak untuk menancapkan arah perubahan yang jelas. Bukan sekadar rutinitas seremonial atau peluncuran program tanpa evaluasi dampak.
Lis-Raja telah membuka babak awal pemerintahannya dengan penuh harapan. Namun, mereka harus ingat: masyarakat kini semakin kritis dan menuntut hasil, bukan sekadar simbol atau slogan. Program populis tanpa keberlanjutan hanya akan menimbulkan kekecewaan.
Seratus hari adalah masa untuk menunjukkan arah. Tapi tanpa konsistensi dan keberanian menembus zona nyaman birokrasi serta elit politik lokal, visi mereka akan berhenti sebagai wacana indah tanpa narasi perubahan yang nyata.
Tanjungpinang tidak butuh pemimpin yang pandai merangkai kata, tapi mereka yang berani menanggung risiko perubahan.