KABARTIGA.ID – Langit pagi di Tanjungpinang jarang benar-benar murung. Seperti kota yang tumbuh perlahan tapi tak pernah menyerah itu sendiri, ada sinar yang menyelusup dari celah awan. Kadang kecil, kadang besar, tapi selalu ada. Di antara denyut kota tua yang menggantung di pesisir dan gema masa depan yang sayup-sayup terdengar dari jalan-jalan baru, nama Ade Angga mengendap pelan-pelan dalam percakapan warganya. Ia lebih akrab disapa Angga, nama yang sederhana namun mengandung jejak pengabdian panjang.
Aku, seorang anak muda yang sedang mencari arah dalam riuhnya politik dan idealisme, mengenal namanya bukan dari spanduk atau panggung kampanye. Tapi dari cerita-cerita kecil tentang konsistensi, keberanian mengambil sikap, dan kesediaan hadir di ruang-ruang yang sering ditinggalkan. Bagiku, Beliau adalah kiblat politik. Bukan karena kesempurnaannya, tapi karena kesederhanaannya dalam mencintai kota ini.
KEJUJURAN DAN KETEGUHAN DALAM MEMIMPIN
Ia hadir bukan sebagai tokoh dadakan. Bukan pula sosok yang muncul hanya saat pemilu mendekat. Ia hadir sebagai seseorang yang memahami bahwa menjadi bagian dari daerah berarti menenggelamkan diri ke dalam persoalan-persoalan kecil yang sering diabaikan, lalu menjemput jalan keluar dengan tenang, kadang sunyi.
Banyak mengenalnya sebagai Wakil Ketua DPRD Tanjungpinang. Tapi gelar itu tak menjadi mahkota yang ditinggikan. Ia memperlakukannya seperti alat kerja. Di ruang-ruang sidang, suaranya terdengar jernih. Bukan untuk mengalahkan, melainkan untuk menjembatani. Baginya, pemimpin yang baik bukan yang bicara paling keras, melainkan yang bisa menjadi pendengar paling sabar.
Langkah beliau tak muncul dari ambisi kosong. Ia dibentuk oleh jalan panjang pendidikan, organisasi, dan perjumpaan dengan realita sosial. Ia memilih politik bukan sebagai panggung untuk tampil, tapi sebagai tempat untuk memperjuangkan. Dari ruang diskusi kecil hingga ruang paripurna, ia membawa nilai-nilai yang langka: kejujuran, empati, dan keteguhan hati.
Sebagai orang yang pernah belajar dari luar pagar kekuasaan, aku tahu betapa mudahnya idealisme luluh saat bersentuhan dengan kursi dan sorotan. Tapi dari cara beliau bicara, dari langkah-langkahnya yang konsisten, aku belajar bahwa kekuasaan bisa menjadi alat perjuangan, asal tidak dipeluk terlalu erat.
NILAI-NILAI YANG MEMBUMI: PERJUANGAN UNTUK KOTA DAN RAKYATNYA
Ia tak menjanjikan revolusi besar. Ia lebih memilih jalan perubahan bertahap yang lahir dari realitas. Ia mendorong penguatan UMKM, mendorong pendidikan yang merata, memperjuangkan wilayah pesisir agar tak luput dari perhatian. Perubahan itu senyap, tapi terasa. Dan bagiku, justru dari kesenyapan itu ia menunjukkan kebesaran yang sesungguhnya.
Tanjungpinang bukan kota besar. Tapi justru di situ letak ujiannya. Di kota ini, segalanya dekat: harapan, kecaman, pujian, kekecewaan. Seorang pemimpin tak bisa hanya berpura-pura. Karena wajahnya dikenal, dan langkahnya diawasi. Di ruang seperti ini, hanya mereka yang tulus yang bisa bertahan.
Aku sering membayangkan diri berbicara langsung dengannya, bukan sebagai pewawancara, tapi sebagai murid politik yang ingin belajar tentang keberanian bersikap. Dan dalam bayangan itu, ia tak mengajariku tentang strategi kampanye atau pencitraan, melainkan tentang bagaimana menjadi pemimpin yang tetap manusia.
Kadang aku menulis namanya dalam catatan kecil. Bukan untuk mengagung-agungkan, tapi sebagai pengingat bahwa di tengah dunia yang lelah dengan politik, masih ada sosok seperti dia.
POLITIK YANG TIDAK MENCARI SOROTAN, TAPI MENGHARGAI AKAR
Di tengah tumpukan agenda dan sorotan media, ia tetap menjaga satu hal: hubungannya dengan kota ini. Ia tak pernah merasa terlalu besar untuk sekadar pulang ke tempat masa kecilnya, untuk mengingat mengapa ia berjuang.
Ia tak menyebut dirinya pahlawan. Tapi bagiku, ia adalah contoh dari seorang pemimpin yang tak kehilangan akar. Ia tak berusaha menjadi pusat perhatian, tapi justru karena itu, ia mendapat perhatian yang tulus.
PEMIMPIN YANG MENJADI TELADAN: PELAJARAN BAGI GENERASI MUDA
Kini, saat namanya mulai disebut dalam lingkaran politik yang lebih luas, aku tahu bahwa jalannya belum selesai. Tapi aku juga tahu, ke mana pun ia melangkah, nilai-nilai yang ia bawa akan selalu mengakar di sini dan juga di dalam diri mereka yang diam-diam belajar darinya, sepertiku.
Karena menjadi pemimpin bukan soal gelar atau pangkat, melainkan tentang siapa yang bisa tetap pulang bukan ke rumah, tapi ke nurani. Dan dalam nurani itulah, bang Angga telah mengukir jejaknya.