KABARTIGA, JAKARTA – Pelaku usaha di industri penunjang minyak dan gas (migas) rupanya bakal mendapat durian runtuh. Pasalnya, produsen migas saat ini tengah berlomba untuk menggenjot produksi di tengah perang Ukraina dan pemulihan permintaan pasca pandemi Covid-19.
Kondisi tersebut lantas membuat pelaku usaha jasa pengeboran memiliki posisi daya tawar yang cukup kuat. Terutama untuk menuntut tarif harian rig pengeboran migas di lepas pantai (offshore) yang lebih tinggi.
Adapun biaya untuk penyewaan rig, yang dikenal sebagai tarif harian, telah meningkat pesat untuk peralatan laut dalam di “Segitiga Emas” dari Teluk Meksiko AS hingga lepas pantai Afrika Barat dan Brasil.
“Tarif naik cukup cepat, terutama di Afrika Barat. Tahun lalu, kami berada di US$ 200.000, tahun ini kami berada di US$ 300.000 dan dengan cepat menuju US$ $400.000,” ujar Cinnamon Edralin, Head of rig market analysis di Esgian yang berbasis di Oslo dikutip dari Reuters, Jumat (27/5/2022).
Di samping itu, konflik di Ukraina juga telah mendorong peningkatan permintaan rig karena Amerika Serikat, Eropa dan sekutu lainnya mencari alternatif untuk pasokan minyak dan gas Rusia. Uni Eropa bertujuan untuk mengakhiri penggunaan hidrokarbon Rusia pada tahun 2027.
Spesialis lepas pantai Seadrill (SDRL.OL) mengatakan dalam laporan triwulanannya bahwa aktivitas di landas kontinen Norwegia, sumber gas vital bagi Eropa, diperkirakan akan meningkat pada 2023. Hal tersebut didorong oleh insentif pajak dan fokus pada keamanan energi.
Untuk Inggris dan Norwegia, produsen utama Laut Utara, jumlah rig yang dikontrak pada April mencapai 40 unit, naik dari sebelumnya di tahun 2020 yang hanya berjumlah 37 unit. Meski begitu, berdasarkan data Esgian angka tersebut masih di bawah capaian sebelum adanya pandemi yakni sebanyak 51 unit.
“Ketegangan geopolitik telah menyebabkan keamanan energi menjadi perhatian publik dan prioritas pada tingkat politik,” kata analis Pareto Securities Christopher Mo Dege.
Untuk diketahui, berdasarkan data Rystad Energy pada 2021 menunjukkan bahwa lebih dari seperempat total produksi minyak dunia berasal dari ladang lepas pantai.
Transocean, yang merupakan kontraktor pengeboran lepas pantai terbesar di dunia mengatakan dalam laporan tahunannya untuk tahun 2021 bahwa tarif harian kontrak untuk armadanya rata-rata US$ 401.000 untuk tahun 2023 dan US$ 467.000 untuk tahun 2024. Hal tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan tarif harian tahun ini yang ditetapkan sebesar US$ 345.000.
Bahkan sebelum krisis Ukraina, produksi minyak dan gas telah berjuang untuk mengimbangi permintaan bahan bakar karena pulih lebih cepat dari yang diharapkan dari penurunan yang disebabkan oleh Covid-19.
“Aktivitas pengeboran lepas pantai meningkat di hampir setiap geografi laut dalam, dengan ‘Segitiga Emas’ menjadi pendorong utama permintaan dan pertumbuhan harga harian,” kata Seadrill.
Sementara di Indonesia sendiri, sebelumnya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat telah menerima usulan renegosiasi kontrak dari pelaku usaha jasa pengeboran minyak dan gas bumi. Mengingat, harga minyak dunia saat ini telah membuat komoditas pendukung kegiatan pengeboran juga turut mengalami kenaikan harga.
Deputi Dukungan Bisnis SKK Migas, Rudi Satwiko mengatakan saat ini pihaknya tengah berdiskusi dengan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk mengevaluasi kembali kontrak yang telah diteken bersama Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas, dan Panas Bumi Indonesia (APMI).
Hal ini dilakukan supaya antara kedua belah pihak dapat mencari titik temu yang ideal, terutama di tengah kenaikan harga minyak saat ini. Oleh sebab itu, diperlukan evaluasi lanjutan terkait mana saja bagian yang menurutnya turut mengalami kenaikan harga yang signifikan.
“Kami menyadari memang harga barang naik tapi kan gak semua item, gak semua naik dari pengeboman itu apa, Rig nya atau suportingnya. Jadi belum tentu dari pengeboran itu semua naik, kami akan evaluasi apa yang bisa diterima dan apa yang tidak bisa diterima,” kata dia dalam Konferensi Pers – Kinerja Hulu Migas Kuartal I Tahun 2022, Jumat (22/4/2022).
Untuk diketahui, harga minyak mentah dunia yang saat ini telah tembus di atas US$ 100 per barel rupanya bukan merupakan angin segar bagi para pelaku usaha jasa pengeboran minyak dan gas bumi (migas) di Tanah Air. Sebaliknya, kondisi ini malah dianggap sebagai kutukan, kok bisa?
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pemboran Minyak, Gas, dan Panas Bumi Indonesia (APMI) Suprijonggo Santoso menjelaskan, kenaikan harga minyak yang tembus di atas US$ 100 bukan angin segar bagi para pelaku usaha karena kontrak telah diteken bersama para perusahaan migas di saat minyak di harga US$ 40 per barel.
“Harga minyak naik, buat kami ini justru kutukan, karena kontrak kita waktu itu di harga minyak US$ 40 per barel, sekarang harga sudah US$ 120,” kata dia dalam acara Drilling Summit Expo 2022, Kamis (24/3/2022).
Kenaikan harga minyak dunia juga telah mengerek beberapa komoditas pendukung kegiatan pengeboran. Hal ini lantas tambah membuat perusahaan pengeboran makin menjerit.
“Semua biaya naik, harga solar naik. Tapi kita gak bisa apa-apa karena sudah ada kontrak dengan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama/ produsen migas),” katanya.
Sumber: CNBCIndonesia