KABARTIGA.ID – Setiap 1 Mei, ribuan buruh turun ke jalan, membawa spanduk, harapan, dan kekecewaan. Hari Buruh Internasional bukan hanya momentum seremonial, tetapi panggung refleksi atas realitas ketenagakerjaan di Indonesia. Di tengah gelombang transformasi ekonomi dan teknologi, posisi buruh tampak semakin rapuh antara tuntutan produktivitas dan minimnya perlindungan hak.
Produktivitas Tinggi, Upah Tetap Rendah
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata upah buruh nasional pada Februari 2024 berada di kisaran Rp3,1 juta per bulan. Angka ini masih belum menjawab kebutuhan hidup layak, terutama di kawasan urban. Di Jakarta, misalnya, survei Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia mencatat kebutuhan hidup layak untuk satu keluarga kecil menyentuh angka Rp6,5–Rp7 juta per bulan.
Sementara itu, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 19 persen per kuartal IV 2023. Artinya, buruh tetap menjadi motor utama ekonomi nasional, tetapi belum memperoleh keseimbangan yang adil dalam distribusi nilai tambah.
Ketidakpastian Akibat Fleksibilitas Kerja
UU Cipta Kerja (Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 sebagai revisi dari UU Nomor 11 Tahun 2020) yang digaungkan pemerintah sebagai solusi penciptaan lapangan kerja justru menimbulkan keresahan. Regulasi ini dianggap mengakomodasi sistem kerja kontrak yang lebih longgar, memperluas praktik outsourcing, serta membuka celah PHK dengan kompensasi yang lebih rendah.
Laporan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menunjukkan bahwa setelah berlakunya UU Cipta Kerja, jumlah pekerja kontrak dan outsourcing meningkat signifikan. Buruh kian kehilangan kepastian kerja, jenjang karier, dan jaminan sosial.
Wajah Baru Eksploitasi: Buruh Digital
Di sisi lain, era ekonomi digital menciptakan kelas pekerja baru: para gig worker. Mereka hadir sebagai mitra pengemudi, kurir, hingga freelancer kreatif. Meski fleksibilitas menjadi daya tarik, status hukum mereka berada di wilayah abu-abu. Tidak ada kepastian tentang jam kerja, upah minimum, maupun hak atas jaminan sosial.
Menurut riset Bank Dunia bertajuk “Indonesia’s Digital Economy 2023”, sektor gig economy tumbuh 30% dalam dua tahun terakhir. Namun, belum ada regulasi ketenagakerjaan yang eksplisit menjamin hak-hak dasar para buruh digital tersebut. Ini menjadi tantangan nyata bagi pemerintah dalam menghadirkan perlindungan yang setara di tengah kemajuan teknologi.
Negara Harus Hadir
Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Konstitusi ini mengikat negara untuk tidak abai terhadap nasib buruh. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh semata diukur dari grafik investasi dan ekspor, melainkan dari seberapa layak kehidupan rakyat pekerja.
Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan ketenagakerjaan yang terlalu condong kepada kepentingan investor. Regulasi yang baik seharusnya menghadirkan keadilan tripartit antara buruh, pengusaha, dan negara.
Jangan Paksa Mereka Memilih “Kabur”
Fenomena migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri, terutama di sektor perawat dan manufaktur, meningkat signifikan pascapandemi. Data BP2MI menunjukkan bahwa lebih dari 274.000 WNI bekerja di luar negeri pada 2023, meningkat dibanding tahun sebelumnya. Banyak di antara mereka adalah lulusan vokasi dan pekerja industri yang merasa peluang dan perlindungan di dalam negeri kian mengecil.
Narasi “kabur aja dulu” yang ramai di media sosial. Menjadi ironi sekaligus alarm sosial. Ketika anak-anak muda terdidik memilih merantau karena kehilangan kepercayaan pada iklim kerja di tanah air, itu pertanda kita sedang kehilangan generasi produktif dalam diam.
Hari Buruh seharusnya tidak hanya menjadi milik buruh, tetapi juga milik kita semua. Karena dalam roda ekonomi ini, siapa pun yang bekerja adalah buruh dari sistemnya. Maka memperjuangkan hak buruh adalah memperjuangkan keadilan untuk kita semua.
#KaburAjaDulu